Beranda | Artikel
Cara Minta Hujan Turun
Selasa, 18 Februari 2014

Beberapa daerah yang kena dampak abu vulkanik Gunung Kelud sekarang merasakan derita dengan banyaknya debu di jalan yang belum pula hilang. Hal ini menyebabkan ketika beraktivitas semakin sulit. Dan salah satu solusi yang bisa mengangkat abu itu semua adalah dengan hujan yang Allah turunkan. Bagaimana cara agar hujan turun?

Di antara caranya adalah dengan shalat istisqa’ dan beberapa cara ampuh lainnya akan dijelaskan dalam tulisan sederhana ini.

Pertama:  Memperbanyak istighfar (memohon ampun pada Allah)

Allah Ta’ala berfirman,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Ada juga beberapa atsar yang menerangkan bahwa istighfar (banyak memohon ampun pada Allah) adalah salah satu sebab diturunkannya hujan.

Dari Asy Sya’bi, ia berkata, “’Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu suatu saat meminta diturunkannya hujan, namun beliau tidak menambah istighfar hingga beliau kembali, lalu ada yang mengatakan padanya, ”Kami tidak melihatmu meminta hujan.” ‘Umar pun mengatakan, “Aku sebenarnya sudah meminta diturunkannya hujan dari langit”. Kemudian ‘Umar membaca ayat,

اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا, يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat

Umar pun lantas mengatakan,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

Wahai kaumku, mintalah ampun kepada Rabb kalian. Kemudian bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan pada kalian hujan lebat dari langit.” [1]

Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah sebagai berikut.

أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة

“Sesungguhnya seseorang pernah mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas.[2]

Ketika menjelaskan surat Nuh di atas, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu, dilapangkannyaharta, serta dikaruniakan anak dan keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan pada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.”[3]

Kedua: Dengan istiqomah menjalankan syari’at Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)

Di antara tafsiran ulama mengenai surat Jin ayat 16 yaitu: Seandainya mereka berpegang teguh dengan ajaran Islam dan terus istiqomah menjalaninya, maka mereka akan diberi minum air yang segar, yaitu dilapangkan rizki.[4]

Makna ayat di atas serupa dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

Ketiga: Dengan Shalat Istisqa’

Istisqo’ berarti meminta pada Allah Ta’ala agar diturunkannya hujan ketika kekeringan. Para ulama sepakat bahwa shalat istisqo’ termasuk ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menurut mayoritas ulama shalat istisqo’ disunnahkan ketika terjadi kekeringan.

Di antara dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid. Beliau berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya[5] (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.[6]

Panduan ringkas shalat istisqo’ sebagai berikut.

Pertama: Hendaklah jama’ah bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias diri).

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[7]

Kedua: Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika itu tidak ada adzan dan iqomah.

Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.[8]

Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata,

خَرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap kiblat dan merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan bacaannya.”[9]

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas, perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan lainnya.”[10]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat istisqo’. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).”[11]

Ketiga: Hendaknya imam memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya)[12].

Sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke langit.[13]

Dalil yang menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari Anas bin Malik,

فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Kemudian para jama’ah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdo’a.”[14]

Anas bin Malik juga mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap do’a beliau kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih.[15]

Keempat: Membaca do’a istisqo’.

Di antara do’a istisqo’ yang dibaca adalah:

اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ

“Ya Allah, turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.”[16]

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.” [17]

Kelima: Mengerjakan shalat istisqo’ sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan shalat istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak lima kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).

Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,

ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ

Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[18]

Dari ‘Abdullah bin Zaid, beliau mengatakan,

ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.”[19]

Catatan:

Istisqo’ (meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa dilakukan ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.

Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,

اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا

“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.”

Anas mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan

Setelah itu, hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.”[20]

Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faedah berharga, “Hadits ini menunjukkan bolehnya do’a istisqo’ dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap kiblat. Hadits ini juga menunjukkan boleh mencukupkan shalat jum’at untuk menggantikan shalat istisqo’.”[21]

Hal ini menunjukkan bahwa istisqo’ (meminta hujan) tidak mesti dengan mengerjakan shalat khusus.[22]

Tulisan di atas diambil dari buku penulis: Panduan Amal Shalih di Musim Hujan yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

 


[1]               HR. Al Baihaqi (3/352).

[2]               Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 11/98.

[3]               Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/140.

[4]               Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/152-153.

[5]               Rida’ adalah pakaian yang menutupi badan bagian atas. Sedangkan ada pula yang disebut izar yang menutup separuh badan ke bawah.

[6]               HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[7]               HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.

[8]               HR. Ahmad (4/41). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[9]               HR. Bukhari no. 1024.

[10]             Shahih Fiqh Sunnah, 1/441.

[11]             Al Mughni, 2/285.

[12]             Di sini jama’ah tidak perlu mengubah posisi rida’nya, cuma khusus imam. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh Syaikh Umar Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi’.

[13]             HR. Muslim no. 896.

[14]             HR. Bukhari no. 1029.

[15]             HR. Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 895.

[16]             HR. Abu Daud no. 1176, hasan.

[17]              HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.

[18]             HR. Abu Daud no. 1165, At Tirmidzi no. 558, An Nasai no. 1508. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwaul Gholil no. 665.

[19]             HR. Bukhari no. 1024.

[20]             HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897.

[21]             Fathul Baari, 2/506-507.

[22]             Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/444.

🔍 Hadits Tentang Memilih Jodoh, Dalil Tentang Menjaga Lisan, Hadits Maulid, Keutamaan Bulan Syawal Dan Amalannya


Artikel asli: https://muslim.or.id/20181-cara-minta-hujan-turun.html